Sabtu, 13 Januari 2018

Bulan Basah Kala Itu (Cerpen)


Bulan Basah Kala Itu
By Arumyurista

Selamat pagi, dengan langit pekat, dan gerimis kecil yang malu-malu turun ke bumi. Semerbak bau tanah sisa hujan semalam yang selalu menjadi candu. Itu mengapa aku sangat mencintai bulan basah. Terlebih Desemberku.
Di balik selimut, rasanya tidak mau aku beranjak. Mata yang masih aku pejamkan, telinga yang aku pasang erat-erat demi menikmati gerimis yang bersenandung di luaran sana. Kalau saja, aku tidak ingat jadwal kuliahku yang padat dari pagi hingga petang nanti, aku pasti lebih memilih berdiam diri, syahdu menikmati hari. Tapi, lagi-lagi hanya menjadi angan saja. Akhirnya, dengan perasaan yang tidak menentu, aku ambil handuk untuk memulai semua aktivitas hari ini. Tuhan, bersamalah denganku hari ini.
Aku susuri jalan kota Jogja yang mulai ramai. Rasanya, baru kemarin kota ini tidak penuh sesak seperti ini. Sepagi ini, untuk melalui lampu perempatan itu saja harus melewati beberapa kali lampu merah. Semua orang mengeluarkan mobil-mobil mewahnya. Melesat maju, membiarkan genangan air di jalanan mengenai baju kuliahku. Sial. Sesekali aku melihat pasangan muda-mudi berbaju seragam putih abu-abu tampak tertawa riang meski baju seragamnya jelas sudah basah. Bagaimana rasanya mengikuti pelajaran dengan baju basah ? Pasti rasanya bahagia, terlihat dari tawa sumringah tidak mempedulikan hujan pagi ini.
Sampailah aku di kelas pagi yang ribut ini. Ada yang sibuk mengibaskan rambutnya sisa kehujanan tadi. Ada yang meneguk sebotol teh hangat demi menghangatkan tubuh. Dan ada yang tersenyum simpul memperhatikan bangku kosong belakang, tempat seseorang selalu mendudukinya. Orang yang pernah tidak pernah tidak hadir di dalam hari-hariku. Orang yang sedang tersenyum itu, aku.

“Pagi, sayang, tiga puluh menit lagi aku sampai di rumah, ya. Dandan yang cantik !”
Pesan whatsapp darinya aku terima seusai mandi.
Kusiapkan bekal nasi goreng bakso kesukaannya, karena aku selalu tahu, dia tidak pernah menyempatkan sarapan, karena katanya, dia tidak akan sarapan kalau tidak dari bekal makanan yang aku buatkan.
Sayup terdengar motor matic terparkir di halaman depan. Aku berlari menujunya. Dia membuka helm retro kesukaannya. Pagi ini, dengan hem biru, celana jeans, dan sneakers hitamnya. Dia selalu tampak ceria menjemputku.
“Bapak, Ibu, ada ? Aku mau pamit.”, katanya.
“Bapak, Ibu udah berangkat kerja, kita langsung ngampus aja.”
Selalu seperti ini, pagi yang aku suka. Kupeluk erat tubuhnya, sembirit angin wangi parfum dari tubuhnya yang selalu aku rindukan. Menyusuri jalanan kota Jogja yang masih sepi, membuat Jogja seakan-akan memang kota penuh cerita.
Tidak pernah kita kehabisan cerita selama di jalan, hingga tanpa disadari, sampailah kita di kampus. Memasuki kelas dengan genggaman tangan yang tidak pernah lepas dan dia duduk di bangku kesukaannya. Aku memilih untuk duduk di depan, minus tinggiku membuatku tidak bisa melihat dengan jelas layar proyektor kelas ini.
Seperti biasanya, sesekali aku tengok ke belakang, tersenyum simpul. Tapi ada yang berbeda. Aku tidak menemukan diriku dalam matanya. Sendu. Ini bukan kamu. Kamu di mana ?
Usai kelas, aku lingkarkan tanganku di lengannya.
“Kamu baik-baik aja ?”, kataku memastikannya baik-baik saja.
“Kita nggak selamanya bareng-bareng. Kalau kamu pulang sendiri, nggak apa-apa, kan ? Aku pesenin ojek ya, sekarang.”
Kuliah hari ini hanya satu mata kuliah. Usai sangat pagi. Biasanya, setelah menghabiskan bekal, kita berdua akan ribut menentukan akan menonton film apa, pergi ke taman mana, atau mau mencari buku dan CD apa. Tapi, tidak dengan hari ini.
Hari kemudian, aku sampai di kampus, sendirian. Setelah pagi kemarin hingga detik ini, aku tidak menemukannya, baik di handphone-ku maupun di bangku kelas kesukaannya. Tidak ada respon balik, berulang kali aku whatsapp, centang satu, aku telepon, handphone-nya tidak aktif.
Kamu kemana ?
Setidaknya, apa kamu tidak bisa memberiku kabar bahwa kamu baik-baik saja ?
Itu sudah lebih dari cukup.

.......
Pagi dengan perasaan yang lebih baik dari satu bulan yang lalu.
Sepertinya matahari ingin ikut menemaniku hari ini. Berbekal jaket, sarung tangan, dan masker, aku telusuri jalan kota Jogja menuju kampus.
Jogja sepertinya memang diciptakan dari rindu. Beberapa meter saja aku keluar dari rumahku, selalu ada bayang-bayang gelak tawa saat itu. Angkringan berjejeran tersaji manis di pinggir jalan dekat rumah. Makan di angkringan dan kamu yang selalu menghabiskan nasi sambal teri tiga buah dan aku yang hanya cukup dengan nasi sambal tempe dua buah. Becak yang beriringan, mengingatkanku pada kita yang pernah iseng ke kampus naik becak karena motor kesayanganmu tiba-tiba macet karena lupa diservis. Jogja memang terbuat dari rindu, bagi mereka yang pernah bercerita di jalanan kota Jogja.

Sesampainya di kampus pagi itu.
Aku letih, mendengar teman-teman yang seakan-akan peduli dengan hatiku. Peduli ? Atau hanya ingin tahu dan melebih-lebihkannya dari mulut ke mulut.
Kalau saja aku tahu mengapa, sudah aku susun kata-kata dengan baik, sudah aku kuatkan hatiku, untuk menjawab cecaran pertanyaan mereka.
Untuk tahu jawabannya saja aku tidak, bagaimana untuk menguatkan hati.
Iya, sudah satu bulan yang lalu, kamu menjemputku di depan rumah, kita pergi ke kampus, menjalani semua dengan sangat baik-baik saja. Hingga usai kuliah pagi itu, kamu pergi dan entah. Se-entah perasaanku berminggu-minggu setelah kamu pergi.
Dan saat itu juga, ingin aku pastikan bahwa aku sudah tidak apa-apa. Walaupun jauh di alam bawah sadarku, aku ingin tahu, kamu kemana ?

.........
“Selamat pagi.”
Deg.
Suara dosen Komunikasi Dasar membuyarkan lamunanku pada bangku kosong kesukaan seseorang yang pernah ada mengisi hari-hariku.
Tepat dua bulan sudah, hari ini, bulan basah kesukaanku, pagi yang sendu waktu itu, aku duduk lemas menaburkan bunga di gundukan tanah itu. Lamat-lamat aku mencoba menguatkan diri, memastikan bukan namamu yang ada di nisan itu. Tapi, semakin aku  coba, namamu semakin jelas di situ.
Kamu pergi, dengan rasa sakit yang lebih karena kamu menjagaku. Membuatku untuk tidak tahu apa-apa tentang sakitmu.
Kamu pergi, dengan umpatan-umpatanku karena kamu pergi begitu saja sejak pagi itu usai kelas pagi.

Dan sejak dua bulan yang lalu, aku tidak akan pernah menyesal pernah mencintaimu dengan sangat. Tenanglah di sana, kamu, seseorang yang pergi saat bulan basah kesukaan kita.

2 komentar:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus
  2. Sands Casino Hotel | Las Vegas, NV - SEPT
    The Sands Resort and Casino septcasino is a casino resort, hotel and destination located in 온카지노 Las Vegas, Nevada. The hotel features a full-service spa, a golf choegocasino course, and

    BalasHapus