“Udah sholat ?”
“Hari ini mau makan apa ?”
“Bentar, mama cariin dulu.”
“Yang ini lebih cocok warnanya sama
bajumu.”
“Tak bikinin teh anget dulu, ya.”
“Udah jam segini, mandinya pakai air
anget.”
“Obatnya udah diminum belum ?”
“Kok belum tidur ?”
“Lagi apa ?”
“Yang semangat, ya. Mama selalu
doain yang terbaik.”
Dan begitulah, Ia, dengan beribu kata sederhana.
Dan tak pernah berubah, hingga hari ini.
Aku rindu.
Rindu.
Tengah malam dengan mata sulit terpejam, pelan-pelan menuju kamarmu,
menyelinap, dan dengan mudahnya mata terpejam, hanya dengan merebahkan tubuh di
sampingmu.
Rindu.
Pagi hari tersedia di meja makan, sarapan sederhana. Ia, tidak pernah
mengijinkan kami keluar rumah dengan perut kosong tanpa sarapan pagi.
Rindu.
Berkeluh kesah setelah seharian di luar rumah. Bercerita. Dan Ia,
mendengarkan.
Rindu.
Berkelakar penuh cerita. Pun tawa. Ia, selalu punya banyak cerita yang
selalu dikaitkan dengan nasihat-nasihat yang aku tahu suatu saat nanti aku akan
mengingat banyak ceritanya.
Ia, masih sama seperti itu, hari ini.
Yang berbeda, tidak lagi bisa, Ia kutemui setiap hari.
Tenanglah, Ma.
Kemana kakiku ini akan melangkah,
Ke rumah, aku pasti selalu akan sempat pulang.
Di sisimu,
Adalah sebaik-baiknya tempat aku pulang.
Dan aku,
Tetaplah putri kecilmu yang keras kepala.
Yang tidak mau kalah berebut mainan dengan adik kecil perempuanku.
Yang rambut lurusnya selalu rapih dikucir olehmu.
Yang tidak suka jajan sembarangan di sekolah.
Yang selalu rindu masakanmu.
Jangan pernah menua.
Suatu hari nanti,
Rambut lurus anakku ingin juga dikucir olehmu.
Padanan baju yang tak pernah salah, aku ingin engkau memilihnya untuk
anakku.
Dan aku ingin,
Anakku tahu, masakanmu adalah masakan terenak di dunia.
Selamat Hari Ibu, Mama.
Yang bisa aku lakukan, hanyalah mengucapkan “Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani
shaghiran”
di sepanjang doaku, untukmu.
0 komentar:
Posting Komentar