Rabu, 15 Februari 2017

Aku Hanya Pulang dalam Keadaan Baik-baik Saja


Pukul 16.20, keretaku datang. Hiruk pikuk penumpang yang tidak sabar turun dari kereta dan penumpang yang tidak sabar naik kereta terlihat Sabtu sore ini. Raut bahagia terpancar, menutupi kelelahan sepanjang perjalanan tadi. Terbayar dengan bahagianya berkumpul dengan keluarga.

Dengan tas ransel di punggungku, aku menunggu sampai semua penumpang yang turun pun naik, habis. Tubuh kecilku mulai merangsek masuk ke dalam kereta. Tertuju di mataku, gerbong 5, kursi 16A. Kubenahkan ranselku dan posisi dudukku. Menenggak beberapa teguk minuman penambah ion, memasang headset, memakai masker – sengaja agar merasa “hanya aku” yang ada di kereta itu.

Aku pulang.
Dengan perasaan yang sebenarnya banyak ingin aku sampaikan. Jogja, akhir-akhir ini, membuatku merasa aku harus pulang, tapi tidak bisa. Jogja yang bersahabat, tapi tidak dengan kepenatanku.

Perjalanan pulang aku terdiam. Lagu-lagu di playlist handphoneku terus terputar. Pikiranku menerawang jauh, sejauh Jogja yang pelan-pelan aku tinggalkan di belakang. Sembari memejamkan mata, berharap bisa tertidur pulas karena lelah seharian bekerja, tapi tidak bisa.

Sesampainya di rumah, ada perasaan lega, melihat mereka, tetap menyambutku dengan ciuman mesra pun pelukan hangat. Ingin tahu mereka baik-baik saja, sangat cukup menjadi alasanku selalu ingin pulang setiap minggunya. Dan mengetahui mereka memang baik-baik saja, sangat cukup menjadi penawar kepenatanku akan dunia yang semakin aku tidak mengerti.

Aku.
Dengan perasaan carut marut, pulang. “Dunia” sedang tidak berpihak padaku. Dan memang benar, rumah, adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa jadi diri sendiri dan merasa bahwa “dunia” kembali memelukku.
Aku hanya ingin pulang, dengan keyakinan mereka, yang yakin bahwa aku, baik-baik saja jauh dari rumah. Cukuplah, delapan belas tahun mereka mendengarkan keluhku. Menyelesaikan setiap masalahku. Membuatku selalu merasa aku menang dan baik-baik saja.

Dan sekarang, bagaimanapun perasaanku, aku akan tetap pulang, dan tetap akan membuat mereka merasa yakin, aku baik-baik saja.
Maaf untuk aku yang tidak bisa sepenuhnya bersama. Yang setiap minggunya hanya bisa menatap nanar, melihat waktu berlalu begitu cepatnya.

Sungguh, aku baik-baik saja. Semua bisa aku selesaikan. Hatiku bisa aku tata. Setidaknya saat aku pulang. Saat menghabiskan waktu yang tidak sampai dua puluh empat jam di rumah.

Yakinlah, walaupun aku masih saja menjadi anak kecil yang manja, aku sudah dewasa sekarang. Tidak usahlah khawatir aku meninggalkan kewajiban lima waktu sholatku. Tidak usahlah khawatir aku kehujanan naik motor sendirian, masuk angin, dan tidak ada yang mengeroki. Tidak usahlah khawatir maagku kumat karena kelaparan atau malas cari makan. Tidak usahlah khawatir, ada yang menyakitiku. Tidak usahlah khawatir aku menangis karena beberapa laki-laki pernah membuat kalian khawatir waktu itu karena aku patah hati. Tidak usahlah khawatir. Aku pasti baik-baik saja. Perasaanku pasti baik-baik saja.

Tidak akan lagi aku menangis, merajuk. Secarut-marut apapun hatiku. Tapi berjanjilah, tetaplah sehat untuk aku. Aku tidak akan baik-baik saja tanpa pelukan itu.

Akhirnya, Minggu, 18.15, keretaku datang, yang akan membawaku pergi lagi. Menghadapi dunia yang terkadang memang kejam. Tapi, aku akan tetap jadi orang baik saja, karena itu pesan kalian, bukankah memang harus begitu ?

Dan dari balik jendela kereta, aku lihat tangan melambai-lambai, seakan berharap aku harus pulang lagi Sabtu ini dalam keadaan baik-baik saja. Aku menangis. Membatin, “Tenang, aku pasti baik-baik saja. Semesta, peluklah aku.”

0 komentar:

Posting Komentar