Pukul 16.20, keretaku datang.
Hiruk pikuk penumpang yang tidak sabar turun dari kereta dan penumpang yang
tidak sabar naik kereta terlihat Sabtu sore ini. Raut bahagia terpancar,
menutupi kelelahan sepanjang perjalanan tadi. Terbayar dengan bahagianya berkumpul
dengan keluarga.
Dengan tas ransel di punggungku,
aku menunggu sampai semua penumpang yang turun pun naik, habis. Tubuh kecilku
mulai merangsek masuk ke dalam kereta. Tertuju di mataku, gerbong 5, kursi 16A.
Kubenahkan ranselku dan posisi dudukku. Menenggak beberapa teguk minuman
penambah ion, memasang headset, memakai masker – sengaja agar merasa “hanya aku”
yang ada di kereta itu.
Aku pulang.
Dengan perasaan yang sebenarnya
banyak ingin aku sampaikan. Jogja, akhir-akhir ini, membuatku merasa aku harus
pulang, tapi tidak bisa. Jogja yang bersahabat, tapi tidak dengan kepenatanku.
Perjalanan pulang aku terdiam. Lagu-lagu
di playlist handphoneku terus terputar. Pikiranku menerawang jauh, sejauh Jogja
yang pelan-pelan aku tinggalkan di belakang. Sembari memejamkan mata, berharap
bisa tertidur pulas karena lelah seharian bekerja, tapi tidak bisa.
Sesampainya di rumah, ada
perasaan lega, melihat mereka, tetap menyambutku dengan ciuman mesra pun
pelukan hangat. Ingin tahu mereka baik-baik saja, sangat cukup menjadi alasanku
selalu ingin pulang setiap minggunya. Dan mengetahui mereka memang baik-baik
saja, sangat cukup menjadi penawar kepenatanku akan dunia yang semakin aku
tidak mengerti.
Aku.
Dengan perasaan carut marut,
pulang. “Dunia” sedang tidak berpihak padaku. Dan memang benar, rumah, adalah
satu-satunya tempat di mana aku bisa jadi diri sendiri dan merasa bahwa “dunia”
kembali memelukku.
Aku hanya ingin pulang, dengan
keyakinan mereka, yang yakin bahwa aku, baik-baik saja jauh dari rumah.
Cukuplah, delapan belas tahun mereka mendengarkan keluhku. Menyelesaikan setiap
masalahku. Membuatku selalu merasa aku menang dan baik-baik saja.
Dan sekarang, bagaimanapun
perasaanku, aku akan tetap pulang, dan tetap akan membuat mereka merasa yakin,
aku baik-baik saja.
Maaf untuk aku yang tidak bisa
sepenuhnya bersama. Yang setiap minggunya hanya bisa menatap nanar, melihat
waktu berlalu begitu cepatnya.
Sungguh, aku baik-baik saja.
Semua bisa aku selesaikan. Hatiku bisa aku tata. Setidaknya saat aku pulang. Saat
menghabiskan waktu yang tidak sampai dua puluh empat jam di rumah.
Yakinlah, walaupun aku masih saja
menjadi anak kecil yang manja, aku sudah dewasa sekarang. Tidak usahlah
khawatir aku meninggalkan kewajiban lima waktu sholatku. Tidak usahlah khawatir
aku kehujanan naik motor sendirian, masuk angin, dan tidak ada yang mengeroki.
Tidak usahlah khawatir maagku kumat karena kelaparan atau malas cari makan. Tidak
usahlah khawatir, ada yang menyakitiku. Tidak usahlah khawatir aku menangis
karena beberapa laki-laki pernah membuat kalian khawatir waktu itu karena aku
patah hati. Tidak usahlah khawatir. Aku pasti baik-baik saja. Perasaanku pasti
baik-baik saja.
Tidak akan lagi aku menangis,
merajuk. Secarut-marut apapun hatiku. Tapi berjanjilah, tetaplah sehat untuk
aku. Aku tidak akan baik-baik saja tanpa pelukan itu.
Akhirnya, Minggu, 18.15, keretaku
datang, yang akan membawaku pergi lagi. Menghadapi dunia yang terkadang memang
kejam. Tapi, aku akan tetap jadi orang baik saja, karena itu pesan kalian,
bukankah memang harus begitu ?
Dan dari balik jendela kereta,
aku lihat tangan melambai-lambai, seakan berharap aku harus pulang lagi Sabtu
ini dalam keadaan baik-baik saja. Aku menangis. Membatin, “Tenang, aku pasti
baik-baik saja. Semesta, peluklah aku.”
0 komentar:
Posting Komentar