Nak, dulu saat jaman sudah modern, bumi ini pernah berada dalam masa pandemi.
Itu terjadi selang beberapa waktu setelah Ayah dan Ibu
menikah.
Saat itu, tidak ada yang menyangka kalau keadaan awalnya
akan semencekam itu.
Kamu tahu, masker, handsanitizer, alkohol, bahkan sabun yang saat ini jumlahnya melimpah, pernah menjadi barang langka.
Jalanan sempat sepi.
Dan saat itu semakin hari, virus itu terasa semakin dekat ketika banyak tetangga dekat,
bahkan teman yang Ayah dan Ibu tahu tertular penyakit ini, Nak.
Ayah dan Ibu yang saat itu baru belajar berumah tangga
terpisah dari keluarga, harus saling menguatkan. Bahkan ketika momen Idul Fitri
yang saat ini kamu tahu menjadi momen di mana keluarga besar berkumpul, tidak
dapat dirayakan saat itu.
Berjalan beberapa bulan, Ayah dan Ibu harus kehilangan kakakmu dan kami
harus merasakan betapa tidak nyamannya berada di Rumah Sakit saat pandemi.
Sungguh menjadi tahun di mana kami harus belajar banyak berdua. Penerimaan, kebahagiaan, kehilangan, pun harus belajar mengikhlaskan.
Oh iya, kami juga kehilangan satu hal penting.
Ayah sering bercerita sangat menyenangkan menghabiskan malam
dengan menonton konser musik kesukaan Ayah dan Ibu. Seperti kesukaanmu saat
ini, kamu suka bercerita, betapa gembiranya bisa menikmati konser musik sambil
sesekali menari pun melompat kecil.
Dan kami kehilangan momen itu, Nak.
Tidak ada lagi berdesakan, menari bersama, berkeringat, pun
suara yang habis setelah menonton konser. Jangankan itu, saat itu, bertemu
dengan orang saja, keluargapun, harus berjarak.
Bisa kamu bayangkan, kan Nak ?
Selang satu tahun pandemi berlangsung, orang-orang
berkepentingan sudah mulai menemukan Vaksin. Seperti dalam foto ini, Ibu
termasuk orang yang mendapat Vaksin di Tahap Pertama karena Ibu saat itu
bekerja di Fasilitas Kesehatan.
Tanya saja, Ayahmu, betapa banyak yang Ibu pikirkan saat itu,
karena menjadi yang pertama, tentu saja Ibu takut.
Terlebih, Ibu harus menunda satu bulan untuk memilikimu,
bagaimana bisa Ibu tidak sedih ?
Akhirnya, Ibu memutuskan untuk mengikutinya, ini untukmu
juga, Nak. Ibu tidak mau saat hamil kamu nanti, Ibu tertular penyakit ini. Ibu
tidak mau lagi kehilangan buah hati, Nak.
Yah, anggap saja ini adalah ikhtiar, termasuk ikhtiar memilikimu.
Iya, begitulah sepenggal cerita masa pandemi saat itu, Nak.
Bersyukurlah, bahwa Tuhan masih memberi sehat.
Dan apa yang terjadi, menjadi cerita suatu saat nanti.
Seperti saat ini, Ibu bercerita untukmu.
Saat Ibu meulis ini, Ibu berharap suatu saat nanti kamu tidak perlu mengalami ketakutan yang besar.
Dan Ibu juga berharap, semoga bumi akan baik-baik saja.
0 komentar:
Posting Komentar